BIADAB STUDY TOUR 2005
Oleh: Wenz Rawk*
Apa yang bisa lebih menarik daripada sebuah aktivitas touring? Jalan-jalan gratis, konser dihadapan ribuan
Yeah, it’s a Biadab Study Tour 2005!
Sebuah telaah makro dan dangkal dalam mempelajari tur konser di
Tur bisa saja biadab karena banyak beredar cerita kerusuhan biadab yang menelan korban jiwa dalam tur konser, band bubar setelah tur, manajemen band mengalami kebangkrutan setelah tur, band mengalami kecelakaan ketika tur, personel band mengalami depresi berat setelah tur panjang yang konstan dan melelahkan, personel band dituntut mengawini groupie yang hamil dan mungkin ini yang cukup mengerikan. Industri tur disini masih tergolong [maaf] biadab!
Dalam kacamata label rekaman, tur biasa digelar dalam rangka mempromosikan album rekaman guna mendongkrak angka penjualan. Dalam wilayah sponsor, tur adalah sarana branding produk yang efektif [walau terkadang sering maruk dan mengesankan tidak percaya diri dengan menaruh logo company gede-gede di wilayah backdrop band!]. Bagi promoter/concert organizer, tur konser adalah bisnis dengan turn-over yang sangat menjanjikan karena profit bisa mencapai 100%. Untuk media
Bagi band sendiri, tur selain sarana promosi dan berkomunikasi dengan fans, jelas memiliki obyektif sebagai penggelembungan income. Angkanya cukup menggiurkan, mungkin jauh lebih menggiurkan dibanding cek royalti rekaman. Paul McCartney di tahun 2002, usai menggelar tur 50
Okelah, dia eks-Beatles, salah satu band paling gemah ripah loh jinawi di dunia. Tapi coba tengok yang diraup Ahmad Dhani dengan DEWA, Krisdayanti, Ari Lasso hingga Inul Daratista. Jelas jumlah tidak sedikit untuk ukuran
Tidak fair memang membandingkan kondisi scene di sini dengan peradaban tur di Amerika Serikat atau Jepang. Tur konser disana adalah agenda rutin marketing plan yang dilakukan hampir semua band, besar atau kecil, signed or unsigned, tak lama setelah mereka merilis album baru. Disana semua band yang di-signed major label pasti memiliki booking agent yang bertugas mencarikan dan menangani job manggung mereka, 7 days a week! Band kecil yang tidak terkoneksi dengan booking agency atau hanya di-signed indie label juga dapat menggelar tur nasional. Ukuran venuenya tentu bukan stadion atau
Tur di Indonesia sendiri boleh dibilang aktivitas yang masih tergolong eksklusif dan sangat mahal. Hingga sekarang mungkin bisa dihitung dengan jari band-band yang merasakan kenikmatan sebuah tur panjang. Pemainnya pun kebanyakan masih muka-muka lama di industri musik. Tolok ukurnya mungkin bisa dilihat dari tur festival musik terbesar di
Jika ada band baru yang membiayai turnya sendiri bisa dipastikan mereka anak cukong atau band anak pejabat yang cenderung gilpop, gila popularitas. They did that not for the money. That’s why its so expensive and indeed, exclusive.
Boleh dibilang kondisi tur di
berkesinambungan. Mengapa? Karena negara ini belum memiliki infrastruktur industri tur yang mapan dan belum ada regulasi jelas yang mengaturnya. Kalaupun ada, itu juga masih bersifat sporadis. Disorganized.
Kita TIDAK memiliki booking agency artis yang efektif, venue/concert hall yang memadai [bahkan jumlah club/bar musik pun masih sedikit], perusahaan asuransi event yang mau memproteksi konser hingga promotion company untuk konser lokal yang bukan hanya kepanjangan tangan sponsor. Masih banyak aspek minus sebenarnya, namun muaranya itu biasanya karena di
Bagaimana? Kondisi yang biadab, bukan? Well, mudah-mudahan analisa saya ini SALAH besar. Semestinya ini hanya menjadi sebuah provokasi tidak berdasar untuk kita semua bergerak melakukan pembaruan demi sebuah scene musik yang lebih sehat dan beradab, tidak biadab. Semoga, oh, semoga!
*Penulis adalah personal manager The Upstairs, pendiri small concert organizer, Brainwashed Entertainment dan juga editor di Majalah Rolling Stone [
Komentar
Posting Komentar