BIADAB STUDY TOUR 2005


 


Oleh: Wenz Rawk*


 


 


Apa yang bisa lebih menarik daripada sebuah aktivitas touring? Jalan-jalan gratis, konser dihadapan ribuan massa penonton, berdansa dan sing-a-long bareng fans, meet & greet, konferensi pers, after show party, meniduri groupie, menghancurkan kamar hotel, merayu pramugari sampai menyatroni lokalisasi prostitusi. Semua impian indah gaya hidup rockstar kayaknya jadi cita-cita hampir semua band di dunia. Well, goddamit, get a life! For the truth, touring life on the road was not that easy. It’s not a-sex-drugs-rock- n-roll-trip-all-night-long-thing. Jangan pernah percaya keindahan tur Motley Crue atau Pantera dalam DVD! It’s all propaganda, honey. Marketing tools! Minimal tidak selamanya hidup di jalanan itu begitu menyenangkan. Mengutip istilah yang sempat diucapkan jurnalis musik senior Remy Soetansyah, tur itu bisa sangat biadab!


 


Yeah, it’s a Biadab Study Tour 2005!


Sebuah telaah makro dan dangkal dalam mempelajari tur konser di Indonesia.


 


Tur bisa saja biadab karena banyak beredar cerita kerusuhan biadab yang menelan korban jiwa dalam tur konser, band bubar setelah tur, manajemen band mengalami kebangkrutan setelah tur, band mengalami kecelakaan ketika tur, personel band mengalami depresi berat setelah tur panjang yang konstan dan melelahkan, personel band dituntut mengawini groupie yang hamil dan mungkin ini yang cukup mengerikan. Industri tur disini masih tergolong [maaf] biadab!


 


Dalam kacamata label rekaman, tur biasa digelar dalam rangka mempromosikan album rekaman guna mendongkrak angka penjualan. Dalam wilayah sponsor, tur adalah sarana branding produk yang efektif [walau terkadang sering maruk dan mengesankan tidak percaya diri dengan menaruh logo company gede-gede di wilayah backdrop band!]. Bagi promoter/concert organizer, tur konser adalah bisnis dengan turn-over yang sangat menjanjikan karena profit bisa mencapai 100%. Untuk media massa, TV: iklan tur adalah belanja iklan atau kenikmatan blocking-time. Majalah/Suratkabar: tur band papan atas menjanjikan peningkatan tiras. Radio: kedatangan band kugiran ke studio selain bergengsi juga berpeluang mendongkrak angka pendengar dan juga belanja iklan. Belum lagi keuntungan lainnya bagi perusahaan rental P.A. system, lighting, staging, venue, security, dsb. It’s all mutual benefits. Industry chained!


 


Bagi band sendiri, tur selain sarana promosi dan berkomunikasi dengan fans, jelas memiliki obyektif sebagai penggelembungan income. Angkanya cukup menggiurkan, mungkin jauh lebih menggiurkan dibanding cek royalti rekaman. Paul McCartney di tahun 2002, usai menggelar tur 50 kota di Amerika dilaporkan berhasil meraup 100 juta dollar! Ini diluar penghasilan lainnya dari merchandise, broadcast, webcast dan sebagainya.


 


Okelah, dia eks-Beatles, salah satu band paling gemah ripah loh jinawi di dunia. Tapi coba tengok yang diraup Ahmad Dhani dengan DEWA, Krisdayanti, Ari Lasso hingga Inul Daratista. Jelas jumlah tidak sedikit untuk ukuran Indonesia. Menurut laporan majalah SWA edisi 13 Mei 2004, setahunnya, Dhani dan DEWA menerima penghasilan 15 milyar rupiah hanya dari manggung! Krisdayanti lebih gila lagi. Diva ini kabarnya mampu meraup 250-500 juta rupiah sebulan, juga dari live show. Ari Lasso, ex-frontman DEWA19, menerima 40 juta sekali manggung, biasanya dalam sebulan ia tampil 4-5 kali. [Mantan?] ratu ngebor, Inul Daratista, tahun lalu, usai dikerjai Raja Dangdut justru lebih panen lagi. Tangisannya di TV mujarab menuai ratusan juta rupiah! Untuk 5 lagu, Inul dibayar 50-75 juta rupiah dan waktu itu ia bisa tampil 2-3 kali sehari. Coba kalikan dalam sebulan atau setahun. Berapa? $$$$$$$$$$! Crazy, ‘kan? Tapi, sayangnya, ini masih sample yang kecil sekali untuk ukuran negara sebesar dan seluas Indonesia yang berpopulasi penduduk mendekati 300 juta jiwa.


 


Tidak fair memang membandingkan kondisi scene di sini dengan peradaban tur di Amerika Serikat atau Jepang. Tur konser disana adalah agenda rutin marketing plan yang dilakukan hampir semua band, besar atau kecil, signed or unsigned, tak lama setelah mereka merilis album baru. Disana semua band yang di-signed major label pasti memiliki booking agent yang bertugas mencarikan dan menangani job manggung mereka, 7 days a week! Band kecil yang tidak terkoneksi dengan booking agency atau hanya di-signed indie label juga dapat menggelar tur nasional. Ukuran venuenya tentu bukan stadion atau Madison Square Garden, hanya rock club atau bar musik kecil dengan kapasitas 100-500 orang. Mereka cukup mengirimkan promo pack ke venue dan jika event manager sana tertarik untuk mem-booking mereka, maka terjadilah. Dengan membiayai tur mereka sendiri, jika mereka mampu menciptakan industry buzz [buah bibir], malah terbuka kemungkinan mereka direkrut label besar atau booking agency mapan….and potentially ready to make a big break for the next coming year. Aw, what a life!


 


 


Tur di Indonesia sendiri boleh dibilang aktivitas yang masih tergolong eksklusif dan sangat mahal. Hingga sekarang mungkin bisa dihitung dengan jari band-band yang merasakan kenikmatan sebuah tur panjang. Pemainnya pun kebanyakan masih muka-muka lama di industri musik. Tolok ukurnya mungkin bisa dilihat dari tur festival musik terbesar di Indonesia saat ini, Soundrenaline. Line-up artis yang menjadi headliner di sana masih sama dengan 3 tahun yang lalu. Cukup membosankan. Namun sebaliknya, sponsor mana yang mau membiayai tur sebuah band antahberantah dengan style musik ugal-ugalan pula? Promotor mana yang mau rugi menggelar tur band dengan fan base hanya di Jakarta atau daerah asal bandnya? None, zero, zip! Jadi jika band kalian bukan berkategori big name act atau top-billing-act-with-so-damn-huge-fan-base, mari berhenti bermimpi.


Jika ada band baru yang membiayai turnya sendiri bisa dipastikan mereka anak cukong atau band anak pejabat yang cenderung gilpop, gila popularitas. They did that not for the  money. That’s why its so expensive and indeed, exclusive.


 


Boleh dibilang kondisi tur di Indonesia belum mencapai tahapan industri tur yang sebenarnya alias belum sustainable,


berkesinambungan. Mengapa? Karena negara ini belum memiliki infrastruktur industri tur yang mapan dan belum ada regulasi jelas yang mengaturnya. Kalaupun ada, itu juga masih bersifat sporadis. Disorganized.


 


Kita TIDAK memiliki booking agency artis yang efektif, venue/concert hall yang memadai [bahkan jumlah club/bar musik pun masih sedikit], perusahaan asuransi event yang mau memproteksi konser hingga promotion company untuk konser lokal yang bukan hanya kepanjangan tangan sponsor. Masih banyak aspek minus sebenarnya, namun muaranya itu biasanya karena di Indonesia masih belum banyak band memiliki fan base yang besar dan kuat daya belinya. Ini masih diperparah lagi oleh mentalitas penonton yang buruk. Doyan nonton jebolan, bikin onar dan kadung dimanja konser-konser gratisan sebagai ajang promosi brand-brand terkenal negeri ini. Katakan, berapa banyak konser dangdut yang memberlakukan ticketing di negeri ini?


 


Bagaimana? Kondisi yang biadab, bukan? Well, mudah-mudahan analisa saya ini SALAH besar. Semestinya ini hanya menjadi sebuah provokasi tidak berdasar untuk kita semua bergerak melakukan pembaruan demi sebuah scene musik yang lebih sehat dan beradab, tidak biadab. Semoga, oh, semoga!


 


*Penulis adalah personal manager The Upstairs, pendiri small concert organizer, Brainwashed Entertainment dan juga editor di Majalah Rolling Stone [Indonesia].


 


 


published at:


Trax Magz - November 2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke