PERJALANAN PANJANG [Editor's Cut]

PERJALANAN PANJANG


[Editor’s Cut]


 


Oleh: Wendi Putranto


 


 


 


Delapan tahun menjadi pecandu narkotika, tiga belas kali rehab, satu kali percobaan bunuh diri, ‘dipecat’ dari Dewa19, pacar hamil di luar nikah hingga kebangkrutan total, Ari Lasso adalah sosok bintang pop menye-menye yang jauh dari apapun yang terbayang dalam benak Anda.


 


Jika Anda selama ini membayangkan bintang rock sebagai sosok pemberontak nan urakan, keren namun liar, berideologi sex, drugs and rock n’ roll, mungkin Anda salah besar. Orang ini tidak setampan Elvis Presley, tidak sedepresif Kurt Cobain atau setragis Layne Staley, walaupun semuanya sama-sama pernah dipersatukan oleh narkotika. Pria bersuara emas yang berkacamata ini penampilannya menjurus kutu buku, memiliki religiositas tinggi dan kerap menyanyikan lagu-lagu pop percintaan. Siapa sangka kisah hidupnya lebih mengejutkan dari sinetron cengeng apapun di layar televisi.


Figur ini adalah Ari Lasso, mantan vokalis Dewa19 yang kini merupakan artis solo dengan angka penjualan album terbesar di Indonesia. “Kalau ada orang mau cerita tentang hidup dengan gue, termasuk musisi segelap apapun, mau metal, mau cerita tentang kegelapan, ah, buat gue cemen,” tukas Ari, “belum ada apa-apanya  sama kisah hidup gue. Gue punya cerita yang lebih gila dari semua itu. Kecuali kalau mereka mati atau belum sembuh dari drugs sekarang. Itu udah pilihan hidup, mereka gagal dalam mengatasi diri mereka sendiri.” Ari Lasso memang tidak bermaksud menyombongkan diri malam itu. Ia sekadar berbagi cerita hidupnya yang sarat romantika.


Awal tahun 90-an sebuah band asal Surabaya bernama Dewa19 sukses menembus industri musik ibukota dengan singel “Kangen (Ku’kan Datang).” Album yang terjual hampir 300.000 keping di seluruh Indonesia itu kemudian membuat nama Dewa19 cukup dikenal di kalangan musisi ibukota. Salah satu komunitas musik yang sangat disegani saat itu adalah Pulau Biru yang berlokasi di Jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta. Slank yang menjadi pelopor lahirnya komunitas ini merupakan band yang sangat diidolakan para personel Dewa19, khususnya oleh Dhani Ahmad dan Ari Lasso.


“Pulau Biru buat gue saat itu adalah sebuah tempat yang pingin banget gue datengin,” cerita Ari Lasso, “Gue kagum karena di situ musik dari berbagai macam aliran bisa bersatu. Di Surabaya geng rock itu berdiri sendiri-sendiri. Di Potlot semua ada, reggae ada, Slank ada, rock n’ roll apalagi. Iwa K yang rap juga ada. Spirit musikalnya hebat.” Ari bercerita bahwa Dhani yang saat itu berkuliah di STEKPI, yang lokasi kampusnya berada tak jauh dari sana, sudah lebih dulu mengenal komunitas Potlot. Ari menyusul bergabung di sana setelah Dhani.


Lasso melanjutkan bahwa perkenalan pertamanya dengan putaw juga berawal dari komunitas ini. Ia ingat pada bulan September 1993, Kaka, vokalis Slank adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada narkotika sejenis heroin tersebut. “Ri, ada barang baru nih, namanya putaw. Heroin,” ujar Ari menirukan ajakan Kaka ketika itu. Ari mengaku saat itu langsung mencoba putaw sekadar untuk membuktikan bahwa dirinya tak mungkin terkalahkan oleh mabukan zat kimia.


Pria yang dilahirkan di Madiun pada tanggal 17 Januari 1973 ini sebenarnya bukan orang baru lagi di dunia perteleran Surabaya. Sebelum berkenalan dengan heroin ia mengaku sudah sangat gila mabuk. Walau sempat mengganja, menenggak alkohol dan mengonsumsi obat-obatan psikotropika namun ia tidak pernah sekalipun menjadi pecandu. “Sebelum putaw, gue kalau makan dumolit itu sekali telan 16 butir,” tukas Lasso jujur, “Kaka sempat juga gue ‘racunin’ Livotril sampai nyebur ke sungai di Jalan Potlot.” Kabarnya karena “kebrutalan” inilah Dhani kemudian menjuluki Ari Lasso sebagai orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mabuk. Ari mengatakan bahwa setelah menjajal putaw ia pun menjadi maklum jika banyak orang yang kemudian kecanduan. “Memang enak banget rasanya. Puncak kenikmatan semua jenis drugs,” kenang Ari lagi. 


            Ketika saya dan Ari Lasso membongkar masa lalunya hingga dini hari di rumahnya di Bintaro Jaya, ketiga anak dan istrinya telah tertidur. Ia tampak telah mengantisipasi dengan baik anak-anaknya dari kisah sangar masa lalunya.


Puteri pertamanya yang kini berusia tujuh tahun bernama Aura Maharani Lasso, sementara adiknya yang juga perempuan, Audra Anandira Lasso berusia tiga tahun. Puteranya yang paling bontot adalah Abraham Lasso, satu tahun. “Gue menamakan mereka semua dengan awalan huruf A agar mereka memiliki keberanian jika dipanggil guru ke depan kelas,” tukas Lasso penuh semangat, “Biar mereka memiliki keberanian dan menjadi leader, makanya namanya di absen harus selalu di jajaran atas.”


Memasuki ruang tamu kediamannya saya cukup tertegun melihat tumpukan beragam buku yang berserakan di mana-mana.  Ia sempat memamerkan buku Di bawah Bendera Revolusi yang baru ia dapat dari sebuah toko buku langganannya. “Yang ini cetakan ketiga tahun 1964, gue masih mencari cetakan pertamanya,” ujarnya tentang buku tebal karangan Soekarno tersebut.


            “Gue aslinya kutu buku. Ketika gue pakaw, buku selalu ada di tas, minimal Tempo atau novel selalu ada,” kenang Ari, “Dari kelas empat SD gue sudah punya perpustakaan dan sangat menjaga buku-buku. Gue sayang banget sama buku dan CD-CD gue.” Ia mengatakan bahwa sekarang membaca buku hanya dilakukan sebagai hiburan di kala senggang, karena kesibukannya show dan rekaman membuat waktu membacanya kini sangat berkurang. “Di kamar gue sekarang ada novel, Robert Kyosaki, kemudian buku Dialektika Pencerahan. Di teras belakang ada majalah Rolling Stone, Hai dan kawan-kawan. Di meja makan ada Kompas yang menemani sarapan pagi. Di kantor manajemen juga ada beberapa buku lain kemudian di ruang tamu gue itu buku-buku musik. Pokoknya, di mana pun gue duduk ada hiburan,” ujarnya seraya menunjuk ke pelbagai penjuru rumahnya.


Di lemari kaca klasik yang terletak di ruang tamu itu saya mendapati koleksi puluhan korek api ala Zippo berbagi ruang dengan koleksi CD dan buku-bukunya yang bertema aneka ragam, mulai dari filsafat, agama, politik dan tentunya musik. Buku According To The Rolling Stones karangan Jagger, Richards, Watts dan Wood serta biografi The Beatles sempat saya lihat juga di sana. Pada rak kaca yang terletak tepat di atas sofa, tersusun rapi selusin penghargaan yang pernah ia terima selama berkarier sebagai artis solo. “Gue agak bingung waktu menerima penghargaan sebagai ‘The Most Inspiring Artist 2005’ dari MTV Indonesia,” kata Ari sembari memperlihatkan sebuah kotak berisi trofi kepada saya. “Setahu gue kategori ini untuk mereka yang sudah tua dan telah menginspirasi banyak orang.” 


Ari bercerita kepada saya bahwa rumah yang ia tempati kini adalah rumah kontrakan. Belakangan ini ia tengah sibuk menjadi “mandor” bagi proyek rumah kediamannya yang letaknya tak jauh dari kontrakannya kini. Ia menjelaskan rumah dua tingkat yang tengah ia bangun itu luas tanahnya cukup besar dan memungkinkan dirinya untuk membuat kolam renang di halaman belakangnya. “Sayang sekali rumah gue belum jadi, padahal kalau kita wawancara dan foto di sana, suasananya jauh lebih keren dari yang ini,” tuturnya. Ari lantas mengajak saya ke meja makan yang terletak di bagian belakang rumah kontrakannya agar  lebih leluasa bercerita. Beberapa kaleng Bintang menemani perbincangan seru kami.


Ari melanjutkan bahwa dirinya sadar telah kecanduan itu pada bulan Mei 1994 atau tepatnya delapan bulan setelah perkenalan pertamanya dengan  putaw tadi. Kebetulan ia tengah pulang ke Surabaya dan mengaku sulit tidur karena tidak mengonsumsi putaw yang saat itu sulit ditemukan selain di Jakarta. Tak betah berlama-lama, Ari lantas kembali ke Jakarta. Kebetulan saat itu Dewa menjelang rekaman album ketiga, Terbaik Terbaik. Di dalam studio rekaman ia terlihat berdiam diri saja. Billy J. Budiarjo dan Rere, drummer Grass Rock yang ikut sesi rekaman album ini pun mempertanyakan sikap aneh Lasso. Ia menjawab dengan polosnya,  “Nggak tahu nih, mas. Kadang saya kedinginan, muntah-muntah, tenggorokan saya gatel, perut saya mules, mencret-mencret,” tukasnya santai.  


Saat itu ia masih menampik kalau dirinya kecanduan putaw, dengan naifnya ia malah menegaskan bahwa dirinya harus profesional, “Masak lagi rekaman, mau kerja makai, nggak dong,” ujar Lasso yang langsung direspon tertawaan semua orang satu studio. “Yah, ini anak goblok banget,” kata Ari menirukan komentar Rere dan Billy J. Budiarjo.  Akhirnya mereka memberi Lasso putaw lagi dan ia kaget karena tiba-tiba sehat lagi dalam waktu singkat. “Di situlah gue tahu kalau gue addict, sebelumnya kalau lagi sakaw gue anggap sakit biasa aja,” tukas Ari seraya tertawa.


Lasso menjelaskan bahwa dirinya cocok menggunakan putaw karena pada dasarnya ia tidak terlalu bergaul, ini jika tidak ingin disebut kurang pergaulan. Ia mengaku hanya percaya pada beberapa orang saja. “Gue akan sangat terbuka dengan orang yang gue percaya dan dari dulu teman gue memang nggak banyak,” ujarnya, “sahabat gue juga cuma itu-itu saja.” Pergaulan yang ia lakukan menurutnya lebih mirip sosialisasi dan ia bukanlah tipe orang yang setiap hari dapat menghabiskan waktu bersama teman-teman. Justru “persahabatannya” dengan  putaw ini membuat dirinya makin tenggelam dalam kesendirian. Ketika teler ia lebih senang mengurung diri di kamar seraya mendengarkan musik grunge dari Pearl Jam atau Soundgarden yang saat itu menjadi favoritnya.


Ia mengakui benturan pertamanya pada popularitas mengakibatkan dirinya labil. Sebagai putera daerah yang tidak pernah memiliki banyak uang, ia mengaku sempat shock. “Gue kalau malam mingguan biasanya cuma punya duit tiga ribu rupiah. Seribu tujuh ratus lima puluh rupiah untuk Vodka sebotol, lima ratus rupiah untuk bensin motor dan sisanya beli rokok,” ujarnya terkekeh-kekeh. “Tiba-tiba saja punya duit banyak. Gue bisa memilih item mabukan yang berkelas.” Diakui olehnya bahwa putaw membuatnya dapat bersembunyi dari publik. Ia mulai merasa tidak nyaman setelah mulai dikenali orang banyak dan belum menyadari itu adalah sebuah konsekuensi sebagai artis. “Gue ramah dengan fans itu baru ketika bersolo. Dulu gue tengil dengan fans,” ujarnya, “bukan sombong, hanya bagi gue mereka terlalu berlebihan dalam memandang diri gue. Ngapain juga?”


Ari menganggap ketika dirinya berada di atas panggung sah-sah saja orang berlaku seperti itu, namun jika tengah berada di mal dan seketika dikerubungi orang banyak, “gue benci banget tuh,” ujarnya, “mungkin karena saat itu masih muda.” Namun ia mengaku ketika tengah teler berada di mana saja dalam keadaan apapun ia tak peduli.


Jika Ari Lasso terkesan sangat jujur ketika bercerita tentang pengalamannya dengan narkotika, lain halnya ketika ia ditanya bagian lain kehidupannya dalam epos sex, drugs and rock n’ roll. Saya menangkap kesan pria pengagum berat Thom Yorke dan Bryan Adams ini sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan tentang seks.  “Kalau untuk yang satu ini gue agak jaim,” katanya sembari tersenyum. Ia menambahkan, “Gue punya imajinasi yang gila tentang seks. Buat gue seks itu kebutuhan utama, walau tidak selalu artinya berhubungan seks tapi rangsangan seksual meskipun personal buat gue itu energi.”


Ia kerap mengelak ketika saya bertanya tentang pengalamannya bersama groupies perempuan di jaman Dewa19 dulu. “Groupies nggak terlalu, karena gue tenggelam dalam putaw, lebih senang menyendiri,” kilahnya diplomatis. Ketika pertanyaan penalti saya lontarkan akhirnya ia mau sedikit berkomentar. “Pada masa-masa jahiliyah, sebelum married itu iya,” ujarnya dengan nada suara merendah. “Ada sih jaman gila yang berhubungan dengan aktivitas seksual gue. Gue agak gila ketika menggunakan shabu,” katanya seraya menahan tertawa.


 


“Orgy?” tanya saya. “Nggak sampai.”


 


“Gangbang?” tanya saya lagi.   “Nggak sampai juga,” jawabnya lirih.


 


“Karena gue seorang penikmat kesendirian makanya terkadang imajinasi jauh lebih nikmat dari apapun yang kita hadapi,” kali ini saya yakin ia kembali berdiplomasi. “Gue bukan orang yang frontal atau orang yang rude. Elu harus ingat itu,” nada bicaranya mulai meninggi, saya mulai berpikir untuk mencari pertanyaan lain. Sejenak ia berkomentar lagi, “Tapi dengan seseorang yang gue percaya dan dekat, kita bisa eksplor itu berbagai macam cara, kuncinya cuma di benak kita. Gue bermain di otak gue.” Lasso percaya bahwa perkawinan baginya merupakan ritus sekali dalam seumur hidup, “iman gue bilang begitu.” Ternyata keluarga baginya adalah segala-galanya.


Untuk sesaat Ari Lasso menghentikan ceritanya. Seraya menghembuskan asap rokoknya, tangan kirinya meraih kaleng Bintang dan mereguknya perlahan. “Gue mau cerita sesuatu yang belum pernah gue ungkap sebelumnya ke media manapun. Teman-teman gue tahu, tapi kebanyakan nggak percaya. Ini cerita yang legend.” Tak ingin cerita ini terganggu, saya pun pamit sebentar ke kamar mandi, efek Bintang. Ketika saya kembali Ari dengan tenang memulai ceritanya. “Gue pernah commited suicide dan koma selama tiga hari di kamar gue di Surabaya,” ujar Lasso yang mengaku merinding ketika menceritakannya kembali ke saya.


Lasso ingat jelas bahwa kejadian tersebut jatuh pada tanggal 20 November 1995. Ia merasa semua yang didapatnya dari Dewa19 tidak sebanding dengan kehancuran tubuhnya. Kematian Kurt Cobain setahun sebelumnya ikut menginspirasi percobaan bunuh dirinya ini. “Ketenaran yang tanggung, materi yang tanggung ditambah lagi kuliah gue D.O. Gue takut mengecewakan orang tua gue,” kata Ari yang sempat tembus UMPTN 1991 dan diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Sebelumnya Lasso telah menjalani dua kali rehab di tahun 1995. “Gue menelan dumolit 38 butir, sebotol Johnny Walker berdua dengan teman gue dan 1,5 gram heroin saat itu,” ujarnya. Di rumahnya kebetulan tidak ada orang tuanya yang saat itu tengah pergi ke Pekanbaru. Ketika temannya pulang pada pukul dua dinihari, Ari pun melanjutkan misi bunuh diri. Ia sempat menulis surat perpisahan yang berisi permohonan maaf bagi kedua orang tua dan saudara-saudara yang telah direpotkan olehnya selama ini.


Kali ini Ari Lasso beranjak dari duduknya dan merekonstruksi langsung kejadian itu di lantai yang berada tepat di belakang meja makan. “Gue menyuntikan seperempat gram putaw di lengan kiri dan lengan kanan. Gue telan juga semua Dumolitnya. Gue tahu rocker-rocker legendaris itu matinya karena kombinasi obat penenang dan heroin. Katanya matinya itu enak, tertidur dulu oleh obat baru kemudian gagal napas,” ujarnya. Ia lantas mengambil posisi duduk bersila dan menjuntaikan kepalanya di lantai. “Terakhir yang gue ingat saat itu gue lagi dengerin ‘Black’  Pearl Jam. Setelah itu gue benar-benar black out.” Lasso mengaku aksi itu terjadi hari Senin dinihari dan ia baru tersadarkan diri pada Selasa siang dengan posisi seperti semula dan jarum suntik masih menempel di lengannya. “Ini suicidal experiment, bukan Suicidal Tendencies lagi,” ujarnya tertawa kecil.


Sebagai orang yang sempat mendedikasikan dirinya kepada mabuk-mabukan, Lasso adalah junkie yang cukup cekatan dalam melakukan riset kimiawi. Ia mengaku mempelajari semua tentang drugs secara mendalam. “Buku gue tentang heroin banyak. Rumus kimia heroin itu Diacetyl Morphine, Bensodiasepin itu adalah golongan obat-obat semacam Nipam dan kawan-kawan. Gue belajar banyak tentang zat-zat itu.”


            Ketika pengetahuannya tentang drugs makin mendalam sebenarnya ada satu ketakutan yang selalu menghantui Lasso. Ia merasa banyak penggemarnya terinspirasi menggunakan drugs setelah membaca pengalaman dirinya dari pemberitaan heboh di berbagai tabloid. “Itu salah satu perasaan berdosa gue,” katanya lemas.  Pernah katanya, setelah ia usai konser di Solo seorang penggemarnya datang ke belakang panggung untuk memamerkan sesuatu kepadanya. “Mas Ari, sekarang saya sama dengan mas. Saya juga sudah punya needle track nih,” ucap Ari menirukan komentar penggemarnya itu, “gila nggak, tuh!”


            Namun Ari tetap mengakui bahwa peran penggemar adalah salah satu faktor utama yang menyelamatkan karirnya dari keterpurukan. Ia terkadang sering merenungi mengapa penggemarnya bisa lintas generasi, lintas strata ekonomi dan lintas latar belakang. “Seorang penyanyi pop kayak gue sebenarnya nggak pantas untuk bernyanyi di stadion,” ujarnya merendah. Ia juga bercerita bahwa perlakuan orang kepadanya kini memang di luar dugaan. “Gue jalan di Blok M, tempat sepreman apapun, nggak ada orang yang mencibir gue. Kayaknya mereka tahu latar belakang gue,” tukasnya. “Gue nggak pernah dicemenin atau dikurangajarin oleh orang-orang seperti itu. Di mal jika ketemu ibu-ibu mapan, anak kecil wangi, usahawan Chinese mereka selalu baik dengan gue. Tommy Winata aja baik sama gue,” katanya sambil tertawa. “Lagu boleh cinta sejati, lagu boleh hampa, tapi hidupnya sebenarnya gila. Ini takdir saja kalau suara gue cocoknya menyanyikan lagu-lagu seperti itu.”


 


Perkenalan pertama saya dengan Ari Lasso berlangsung di Studio Aquarius yang terletak di bilangan Pondok Indah, Jakarta. Saat ini ia memang tengah sibuk menggarap album terbarunya yang ke empat. Memasuki ruangan studio yang mewah tersebut saya mendapati dirinya tengah berdebat dengan komposer terkenal Erwin Gutawa. Belakangan saya diberitahu bahwa Erwin Gutawa memang ikut menjadi produser bagi dua lagu di album ini, salah satunya  adalah lagu “Berakhir Indah” yang sekilas pattern drumnya mengingatkan saya pada sebuah lagu Phil Collins yang berjudul “Take Me Home.” Selain Gutawa, komposer Addie MS, Piyu Padi dan Bongky BIP juga terlibat dalam penggarapan album barunya yang rencananya bakal dirilis bulan Mei 2006 nanti oleh Aquarius Musikindo. 


Lasso menegaskan bahwa dirinya kini jauh lebih serius saat menggarap  album ini karena ia merasa industri musik itu bukanlah ilmu pasti, bahwa barang bagus akan selalu laku apalagi barang setengah bagus. “Gue akan selesaikan album ini dan merilisnya ketika gue sudah merasa puas. Kalau nanti gue dengar lagi lagunya, mood-nya bagaimana satu album itu, belum tentu dirilis, mungkin bisa tambah lagu lagi,” ungkap Lasso yang mengaku cukup perfeksionis dalam menggarap sesuatu.


Ketika ditanya apakah dirinya tidak bosan terus menerus mengambil tema cinta di seluruh albumnya, dengan lugas ia menjawab bahwa dirinya tidak menguasai tema lain dan juga tidak mau mengada-ada. Ia menegaskan bahwa tema yang ia kuasai hanya cinta. “Suara gue nggak cocok buat marah-marah. Soul gue ada di sini, gue selalu mengerjakan sesuatu dengan soul. Misi gue menghibur, menyuarakan kegelisahan orang tentang cinta, mencoba mewakili apa yang gue rasakan dan gue yakini dirasakan oleh orang banyak. Kalau gue memotret ketidakadilan, sosialisme, percuma sebenarnya….Musik dan lirik itu change nothing. Realitas dunia ini adalah sosial dan politik yang hanya bisa berubah dengan tindakan sosial dan tindakan politik,” ujar Lasso berapi-api.


           


Dewa19 yang namanya kian melambung di kancah musik nasional ternyata saat itu tak hanya memiliki satu orang pecandu drugs di dalam line-up mereka. Menurut Lasso, hampir semua personel Dewa19 saat itu menggunakan drugs. Selain Lasso, ada pula Erwin Prasetya, bassist Dewa19 serta sang band leader, Dhani Ahmad. “Dhani cukup lama makai, sekitar tiga sampai empat bulan dia jadi pemakai. Begitu Dhani tahu gue kecanduan, dia langsung berhenti. Bangsat tuh anak,” katanya seraya tertawa terbahak-bahak, “Dhani nggak terlalu mendedikasikan dirinya untuk mabuk.” Bagi Lasso, album masterpiece Dewa19 adalah Terbaik Terbaik. “Album itu pencapaian session pertama sebelum pindah ke alternatifnya Aksan Syuman. Aransemennya gila banget. Itu album heroin. Aransemen dan liriknya semua heroin,” ujar Lasso masih tertawa.


            Di album ketiga Dewa19 tersebut Lasso menerangkan bahwa yang mengisi track drum adalah Rere, drummer Grass Rock. Orang ini menurut Ari juga sempat menjadi kandidat drummer Dewa19. Hanya saja saat itu Dhani, cerita Lasso, sempat berkomentar, “Kalau Rere masuk berarti drug addict-nya ada tiga dong, yang sehat cuma dua.” Konon gara-gara faktor inilah Rere kemudian tidak jadi direkrut ke dalam formasi Dewa19. Ketika Lasso menjawab pertanyaan saya apakah ia sering berbenturan pendapat dengan Dhani mengenai masalah narkotika ini, ia menjawab singkat saja, “Dhani bukan orang yang suka berpendapat tentang hal seperti itu, dibiarin aja.”


 


Sampai akhirnya Anda dipecat dari Dewa19?


Itu hanya pernyataan di luar saja, karena gue tidak memberikan bantahan. Yang benar gue cabut tapi pamit. Ketika itu gue sudah sangat bermasalah. Salah satunya karena gue nggak datang ketika tur manggung di Lampung tahun 1997. GOR Saburai dipenuhi sekitar 7.500 orang saat itu dan gue nggak datang. Gue waktu itu malah di Jakarta “belanja”. Ini tur pertama Dewa19 di 24 kota di Indonesia. Ketika masuk session Sumatera, saat itu gue belum ada “bekal”. Gue pikir pesawat dari Jakarta ke Lampung itu ada setiap saat, ternyata pesawat terakhirnya jam tiga sore. Gue janjian sama BD (Bandar - Red) di Bandara Halim Perdanakusuma jam lima sore. Ketika gue santai makai putaw, BD gue nanya, “Ri, nanti kan mainnya siang.” Gue jawab, “Tenang, bos, tenang. Santai saja, pesawat terakhir masih ada.” Saat gue tahu nggak ada lagi pesawat ke Lampung, gue cuma bisa bilang, “Mampus gue.” Akhirnya satu session Sumatera itu gue nggak disapa sama sekali oleh anak-anak Dewa. Pulang dari tur gue langsung disapa Dhani, “Ri, kalau kamu begini terus kamu bisa  dikeluarin dari Dewa.” Gue jawab, “Oh ya? Ya sudah, gue minta break  deh.” Setelah itu Dewa vakum enam bulan, Dhani kemudian membentuk Ahmad Band.


Anda kan resmi mundurnya tahun 1999, kok sampai begitu lama?


Karena Dewa vakum manggung. Dhani bikin Ahmad Band dan kami lagi persiapan album Bintang Lima. Gue akhirnya nggak sanggup bereskan. Padahal yang sudah gue take vocal itu enam lagu. “Roman Picisan,” “Cinta Adalah Misteri,” “Lagu Cinta,” “Persembahan Dari Surga,” “Hidup Adalah Perjoeangan” dan “Elang.”


Bagaimana proses terakhir Anda keluar dari Dewa19?     


Dhani suatu ketika bilang sama gue, “Ri, bagaimana kalo album Dewa yang baru ini ada dua penyanyi. Kamu dan Once.” Gue jawab, “Once? Once siapa?” Dhani bilang, “Ini lho kamu dengerin.” Gue jawab, “Oh, bagus banget nih suaranya, Dhan. Sudahlah, Once saja yang jadi vokalisnya.” Dhani tetap bersikeras, “Lho, jangan, harus dua vokalis.” Setelah itu gue menghilang ke Surabaya. Benar-benar menghilang. Saat itu titik terparah gue dengan drugs karena sudah mulai kena shabu-shabu. Jadi tidak disiplin, ngaco dan gampang marah.


Tapi bukannya shabu-shabu doping juga?


Ya, doping tapi parnonya (paranoid-Red)  itu nggak kuat. Gue merasa semua orang musuhin gue. Putaw gue pake dari tahun 1993 sampe 1996 nggak pernah ada masalah. Konser di Lampung yang gue nggak datang itu gara-gara shabu. Berat badan gue sekarang 61 kg, berat badan ideal 56 kg, saat-saat terakhir gue di Dewa, berat badan gue Cuma 48 kg.


Masih ingat konser terakhir dengan Dewa19 sebelum cabut?


Kalau nggak salah tahun 1998 atau tahun 1999. Di Yogyakarta untuk acara Gita Fitri RCTI, sehabis itu gue menghilang. Saat itu drummernya Bimo, Aksan sudah dipecat. Dia memang benar dipecat. Kalau gue nggak ada yang berani mecat, siapa penggantinya?


Kenapa bisa beredar statement Anda dipecat ya?


Dhani mencari statement yang paling aman. Itu kan dikembangkan saja. Bahkan detik terakhir kemarin Dhani diwawancara teve, ia bilang, “Jangankan Once mau bersolo karir, wong Ari Lasso mengundurkan diri saja saya nggak bisa menghalangi kok.” Jadi album itu (Bintang Lima – Red) rencananya awalnya bakal pakai dua vokalis. Gue lima lagu dan Once lima lagu atau gue tujuh lagu dan Once tiga lagu. Emosional juga gue sebenarnya, padahal saat itu gue lagi bangkrut total.


Drugs membawa kebangkrutan bagi Anda?


Total. Habis semua. Habis bukannya gue jual, kalau dijual kan dapat duit. Ini tiba-tiba semua hilang begitu saja. Nggak jelas. Nggak meneruskan cicilan, nggak diurus, kemudian hilang begitu saja. Mobil juga ditarik lagi oleh leasing-nya. Gue kalau lagi mabuk soul banget. Mungkin orang makai drugs asal sehat, asal bisa beraktivitas, kalau gue, pasti gue cari sampai benar-benar dalam kenikmatannya. Kalau gue lagi nyuntik pasti selalu nggak puas, selalu pingin tambah. Sampai benar-benar teler. Makanya Dhani selalu ngomong kalau Ari ini setiap mabuk pasti soul banget, dedikasi total.


            Bagaimana hidup Anda setelah keluar dari Dewa19?


Ketika parah-parahnya makai drugs, gue nggak bisa makan saking bangkrutnya. Kalau bepergian kemana-mana gue naik angkot. Makan di warteg gue ngutang. Walau banyak teman gue nggak pernah mau ngerepotin mereka. Elu bisa tanya sama Dewa, Aquarius Musikindo, dengan semuanya deh, apakah pernah tercatat selama itu gue punya masalah utang, ngemplang, nggak ada. Gengsi gue terlalu gede.


 


Setelah bangkrut total Ari Lasso lantas memutuskan untuk pulang ke Surabaya pada bulan November 1998. Kehidupan ibukota saat itu baginya sangatlah tidak sehat. Tak lama setelah itu Ari memutuskan untuk menikah, “Pacar gue hamil enam bulan,” ujarnya tentang Vitta Dessy Catur Purnama yang kini menjadi istrinya. Ia berharap dengan menikah ia dapat menemukan jalan keluar dari segala permasalahan yang menghimpitnya. “Gue menikah Februari 1999, anak pertama gue lahir Maret 1999. Legend nggak tuh?” ujarnya seraya tertawa. Menurutnya, biaya perkawinan mereka saat itu hanya menelan biaya dua juta rupiah saja, “Pinjaman dari bokap. Tapi sudah gue bayar ya,” ujarnya. Perkawinan pun dilakukan di gereja tanpa resepsi besar-besaran. Lasso menegaskan bahwa ia tidak ingin merepotkan siapapun termasuk keluarganya sendiri, namun ia mengakui setelah menikah masih menumpang di rumah orang tuanya, bahkan untuk makan dan minum sehari-hari. “Tapi gue juga ada sisa royalti dari Dewa yang tetap jalan. Per tiga bulan gue selalu dapat kiriman.”  


Walau telah menikah Ari Lasso ternyata tidak kapok menggunakan drugs. Ia tetap menjalin persahabatan dengan medium teler tersebut padahal kondisi keuangan keluarga kecilnya masih terseok-seok. Ketika istrinya hendak melahirkan anak pertamanya ia mendapat telepon dari label rekamannya di Jakarta. Lasso diminta berduet dengan Melly Goeslaw di lagu “Jika” untuk album debut solo vokalis Potret tersebut.  “Ketika lagu itu meledak, otomatis menuntut gue untuk pindah ke Jakarta lagi, di situlah gue terjun bebas lagi. Pertama coba-coba dan akhirnya keterusan,” keluhnya.


Suksesnya lagu “Jika” ternyata memberi harapan cerah bagi masa depan karir musik Ari Lasso selanjutnya. “Ternyata orang masih cinta sama Ari Lasso, bukan hanya cinta sama Dewa,” nada bicaranya optimis kembali. “Imej gue saat itu orang yang dibuang, orang yang dikalahkan, dizhalimi, kalau kata artis-artis jaman sekarang. Jadi semua orang support gue, Bebi Romeo, Piyu Padi, pencipta-pencipta lagu lain juga men-support gue,” katanya. Ia melihat semua orang yang mendukungnya itu karena ia tidak pernah bermasalah sama sekali dengan siapapun, khususnya masalah keuangan. Kebetulan kabar mengenai musisi yang terjerat drugs dan kemudian berhutang besar memang lagi marak-maraknya saat itu.


Menjelang akhir tahun 2000, Ari Lasso terpaksa pulang ke Surabaya, ibunya yang menderita penyakit kanker dikabarkan telah koma selama sembilan hari. Ketika nafas ibunya sudah tersengal-sengal, ia dipanggil menghadap. “Gue teriak di telinganya, ‘Ya, Ma. Ini Ari. Mama kalau sudah mau berangkat, berangkatlah. Ari setelah ini berjanji akan sembuh. Mama nggak usah mikirin Ari lagi, kami semua sudah ikhlas. Kakak-kakak bisa menjaga Ari. Sudahlah Mama berangkat saja,” ceritanya dengan mimik sedih. Tidak sampai setengah jam, sekitar lima belas menit kemudian ibunya pun meninggal dunia. Momentum kedua ini ternyata cukup menjadi alasan kuat bagi dirinya untuk berhenti total menggunakan narkotika. “Keluarga sudah capai ngurus gue, sementara keluarga gue bukan keluarga yang berlebihan untuk melimpahkan uang begitu saja demi perawatan gue.”


Tak lama setelah kematian ibunya, Ari Lasso memutuskan untuk kembali ke Jakarta dengan meminjam uang bapaknya. “Gue beli tiket bis Pahala Kencana untuk gue, istri, anak dan baby sitter, setelah itu beli putaw untuk persiapan di bus,” katanya polos. Kondisi bus sepi karena kebetulan momennya bertepatan dengan malam takbiran. Saat itu di kantong Lasso hanya tersisa putaw sedikit dan uang dua puluh lima ribu rupiah yang ia persiapkan untuk naik taksi dari Terminal Lebak Bulus ke rumah saudara istrinya yang berada di Pondok Aren.


Memasuki waktu subuh, bus berhenti di kawasan Cikampek untuk sarapan dan beristirahat. Lasso sekeluarga mengaku tidak bisa ikut makan karena memang tidak punya uang lagi. Sementara untuk anaknya sudah dipersiapkan bekal bubur oleh keluarganya sebelum berangkat ke Jakarta. Ketika semua penumpang tengah makan, ada satu orang yang mengenali Lasso dan bertanya kenapa ia tidak makan. Lasso berkilah, “Kalau sarapan pagi perut saya suka mulas, pak.” Akhirnya saat itu Lasso cuma minum teh tawar dan pergi ke dapur untuk minta gula buat teh itu. Mungkin maksudnya teh manis gratis. “Bayangkan, lima album Dewa meledak. Album The Best Of  malah laku sampai 750.000 keping dan “Jika” laku 700.000 keping juga tapi setengah tahun setelah meledak kondisi gue malah seperti itu, tragis, nggak?” ungkap Lasso lirih.


 


Tiba di Jakarta Lasso langsung menghadap ke label rekaman yang selama ini setia menaunginya, Aquarius Musikindo. Ia mempertanyakan kepada mereka untuk memberikan kesempatan satu kali lagi bagi dirinya. Ia kebetulan masih memiliki hutang untuk menyelesaikan master rekaman album solo pertamanya yang terbengkalai sejak tahun 1998. “Gue itu nggak pernah mengambil uang advance rekaman,” tutur Lasso, “gue hanya ambil seperlunya saja untuk biaya rekaman atau ongkos transportasi. Paling kasbon lima ratus ribu rupiah untuk anak-istri gue, itu pun masih dibelah lagi untuk beli putaw.”


Bosnya di Aquarius Musikindo, Suwardi Widjaja, bilang jika dirinya sebenarnya masih memiliki uang sekitar delapan puluh juta rupiah lagi. Namun uang tersebut tidak mungkin diberikan kepadanya karena dianggap makin menghancurkan hidup Lasso. “Akhirnya gue bilang kalau gue pingin banget sembuh, karena ibu sudah meninggal. Gue pingin rehab untuk yang terakhir kalinya,” ujar Ari yang sebelumnya telah menjalani 12 kali rehabilitasi atas ketergantungan pada narkotika. Ia berjuang keras untuk keluar dari kesengsaraan, ia ingin hidup enak, ingin tinggal di apartemen. Pihak label kemudian mengabulkan permintaan ini namun dengan catatan harus ada orang yang bisa dipercaya untuk mengawasi gerak-gerik Ari Lasso. Aquarius kemudian menunjuk Irza Rivai dari Jakarta Artist Management (JAM) untuk menjadi manajernya. Lasso bercerita bahwa Irza yang juga mantan “bajingan” ini lantas menyanggupi untuk menyembuhkan Ari Lasso. “Orang masih melihat intan di balik lumpur ini, gue masih bisa dijual dan nilai jual gue masih gede banget,” tukas Lasso mantap.


            Hanya sehari setelah menuntaskan rehab untuk terakhir kalinya, awal Mei 2001 Ari Lasso dan keluarga pindah ke Apartemen Rasuna di Jakarta. Lasso dengan jelas mengingat tanggal 30 April 2001 sebagai hari terakhirnya menggunakan heroin dan sampai kini ia mengaku belum pernah menyentuh drugs lagi. “Gue commit, mudah-mudahan, Insya Allah atau apapunlah namanya, sampai gue mati nggak akan menyentuh drugs lagi. Ia kali ini benar-benar memulai lembaran hidupnya yang sama sekali baru. “Gaya dong, sehabis melarat, miskin. Punya fully furnished apartment dan gue memilih apartemen yang menghadap ke pool,” kali ini ia berkata dengan sedikit norak tapi bahagia.


Dari Desember 2000 hingga April 2001 selama dimanajeri Irza Rivai, Lasso mulai berkonser lagi dari café ke cafe masih membawakan lagu-lagu Dewa.  Lasso sempat show menjadi artis pembukanya Gigi.


Ketika Aquarius Musikindo merilis album debutnya Sendiri Dulu di pertengahan 2001, saat itu sebenarnya tujuan Lasso hanya untuk menyambung hidup keluarganya. “Gue butuh duit untuk menghidupi anak-istri gue. Gue butuh manggung,” kenang Lasso. Ia sendiri mengaku tidak banyak terlibat di album solonya ini. “Pak Iin yang menjadi produsernya. Beliau memanggil Bongky dan Andy Rianto, sementara gue tinggal menyanyi saja,” komentarnya tentang proses produksi album tersebut. Awalnya Lasso hanya menargetkan enam puluh ribu keping saja bagi album tersebut, “Karena impasnya cuma lima puluh ribu kopi.” Pihak label sempat berkata kalau Lasso terlalu pesimis sementara ia sendiri sebenarnya hanya berusaha untuk tahu diri. “Ketika gue merilis album itu semua media massa meliput seakan merayakan kembalinya sang anak hilang,” kenangnya. Hingga detik ini, menurut Lasso, penjualan album Sendiri Dulu kabarnya telah mencapai 500.000 keping. Sebuah prestasi yang luar biasa bagi seorang debutan tentunya.


            Uniknya, setelah Ari Lasso hengkang dari Dewa, band tersebut juga makin berjaya. Album Bintang Lima yang beberapa lagunya sempat diisi vokal oleh Lasso sebelum “dipecat,” penjualannya bahkan mencapai angka 1,8 juta keping. Begitu pula dengan album berikutnya yang rilis tahun 2002, Cintailah Cinta, walau tidak sebagus penjualan album sebelumnya namun tetap laris lebih dari sejuta keping hingga kini.


 


Ada kemungkinan Anda kembali ke Dewa19?


Tidak terbersit sedikitpun. Bukannya sombong, tapi Dewa itu bagus sekali sekarang dengan Once.


Apa ini karena sukses bersolo karir? Mungkin jika gagal ada pikiran untuk kembali?


Apalagi gagal, gue jelas nggak punya kepercayaan diri untuk menawarkan kembali ke Dewa. Mereka itu punya posisi yang unik. Sebuah band yang sangat besar di Indonesia, ketika ditinggal penyanyinya band ini malah tumbuh lebih besar dan penyanyinya ini juga tumbuh lebih besar dibanding eranya dia di grupnya dulu. Di luar negeri mungkin belum pernah ada kejadian seperti ini. Contoh di Indonesia, ADA band ditinggal Baim, vokalisnya. ADA band besar tapi Baimnya kemana? AB Three, ketika dua personilnya keluar, dua-duanya malah tenggelam. Edane juga begitu. Makanya Dewa itu kejadian unik.


Anda melihat itu semua sebagai keberuntungan, kebetulan atau Misteri Ilahi?


Semua itu has written before. Sudah ada Skenario Agung, meminjam istilahnya Umar Kayam. Gue sendiri sebenarnya orang yang sangat religius tapi bukan orang yang tertib atau tekun beribadah. Gue lebih rajin berdoa dan beribadah ketika masih kena drugs dibanding sekarang. Itu bedanya gue dengan yang lain mungkin. Gue nggak kehilangan Ketuhanan gue saat itu, meskipun pada faktanya perbuatan gue dengan drugs itu sangat dibenci Tuhan.


Sosok Faiz yang sering menempati tempat teratas thanks list semua album Anda terlihat sangat influential, mengapa?


Yang gue dapat dari dia itu spiritual banget. Gue mendapat sebuah persahabatan yang…… Orang yang bisa maki-maki gue itu hanya dia dan lucunya ketika gue tiba-tiba menceritakan sebuah masalah yang berat hanya ditertawakan saja oleh dia. Intinya, he’s my brother, my father, my mentor, my teacher.


Pernah memiliki ketakutan semua ini akan kembali ke titik nol? Bagaimana Anda menyikapinya?


Itu membuat gue sangat berhati-hati dalam bertindak. Gue jarang melakukan hal-hal yang sensasional. Sebagai solis jajaran atas yang setiap saat gerak-geriknya bisa dijadikan berita, gue hindari itu sejauh mungkin dijadikan gosip. Gue tinggalkan ke-superstar-an hanya di panggung dan di industri. Ketika pulang ke rumah ya seperti ini saja. Santai di rumah. Someday, apapun yang terjadi gue tetap santai. Yang hilang cuma materi, bukan Ari Lasso, bukan diri gue yang hilang.


Apa persiapan Anda untuk masa tua nanti?


Investasi gue belum tentu di bidang bisnis. Gue mempersiapkan diri dengan aset sebagai orang yang bisa dipercaya. Gue orang yang commit terhadap apapun yang gue ucapkan. Gue orang yang commit dalam menjalankan sebuah usaha, meskipun belum terikat dengan usaha apapun. Itu yang gue bina. Someday gue datang ke seseorang yang gue ajak sebagai partner usaha, gue yakin berapapun ia pasti akan gelontorkan. Gue bina itu sebagai konduite. Yang mengajak gue bisnis itu, gila, banyak banget. Gue tolak karena memang belum saatnya. Sekarang gue di musik dulu. Lima tahun ke depan gue masih ada di posisi ini akan sangat luar biasa buat gue pribadi.


Cita-cita Anda pasca menjadi rockstar apa?


Gue pingin punya restoran. Kayaknya asik banget di masa tua gue nantinya, restoran sudah besar dan ada di mana-mana, tiba-tiba occasionally gue datang ke restoran dan bernyanyi untuk tamu-tamu gue di sana.


 


 


KULIHAT, KUDENGAR, KURASA


Semua yang terfavorit dari panca indera Ari Lasso


 


Musik



  1. A Night At the Opera – Queen

  2. OK Computer – Radiohead

  3. Hysteria – Def Leppard

  4. Rattle And Hum – U2

  5. Ten – Pearl Jam

 


Vokalis



  1. Freddy Mercury

  2. Thom Yorke

  3. Robert Plant

  4. Bryan Adams

  5. Bono

 


Buku



  1. The Godfather – Mario Puzo

  2. Catatan Pinggir – Goenawan Mohammad

  3. Burung-Burung Manyar – YB Mangunwijaya

  4. Da Vinci Code – Dan Brown

  5. Sang Nabi – Kahlil Gibran

 


DVD Musik



  1. Gimme Some Truth – John Lennon

  2. Def Leppard  - Historia

  3. Metallica & Michael Kamen – S&M

  4. The Beatles – Anthology

 


 


YANG TERBAIK


Komentar Ari Lasso tentang album-album solo yang ikut mewarnai perjalanan hidupnya


 


“Jika” [Melly feat. Ari Lasso] (1999)


 


Ini adalah album solo Melly yang pertama setelah bersama Potret. Melly kebetulan satu label dengan gue, Aquarius. Dia bikin lagu dan setelah diperdengarkan ke Aquarius mereka merekomendasikan ke gue. Gue sendiri saat itu masih di Surabaya dan gue dikirimin copy-annya untuk dipelajarin dan gue langsung setuju. Melayu banget nih. Ternyata single itu jadi gede banget. Setelah single itu meledak, kepercayaan diri gue pulih. Ternyata meskipun gue sudah keluar dari Dewa, orang masih suka dengan gue.


 


Sendiri Dulu (2001)


 


Album ini unik karena dalam proses penggarapannya menghabiskan empat presiden. Rilisnya 8 Agustus 2001. Album ini yang produce label gue dan gue tinggal nyanyi saja. Sebenarnya album itu sangat tidak jelas mau ke mana, karena gue tidak banyak terlibat di dalamnya. Cuma gue harus bungkus saat itu karena momentumnya udah kelamaan gue tidak berkarya, terakhir bersama Dewa itu album The Best 1998-1999. Bersama Melly juga cuma duet. Setelah rilis ternyata album ini meledaknya gila-gilaan. Lagu “Misteri Ilahi” dan “Perbedaan” sendiri sudah gue selesaikan sejak tahun 1998 dan sisanya diselesaikan menyusul.


Best Track: “Penjaga Hati,” “Misteri Ilahi”


 


Keseimbangan (2003)


 


Termasuk album favorit gue, karena laku dan enak didengar, easy listening. Gue sudah mulai mem-produce di album ini. Gue pilih lagunya, gue pilih musiknya mau kemana. Album ini cukup monumental karena gosip musiknya mendukung juga. Selama ini kan Dhani dan Piyu dikenal sebagai dua kubu yang berseberangan meskipun Piyu dulu pernah menjadi crew Dewa. Ketika itu Padi mau menggeser kebesaran Dewa. Mereka berdua ada di album gue. Itu sebuah pencapaian yang label besar manapun aku yakin nggak akan bisa bikin. Album ini mungkin kalau gue tidak buru-buru merilis Kulihat, Kudengar, Kurasa bisa jadi terjualnya satu juta keping. Sebenarnya masih ada dua single kuat lagi. Sampai lima video klip dilepas album ini penjualannya sudah mencapai lebih dari 700.000 keping. Di album ini gue sudah sering melakukan tur dan terbukti gue bisa menarik massa stadion.


Best Track: “Hampa,” “Rahasia Perempuan”


 


Kulihat, Kudengar, Kurasa  (2004)


 


Album ketiga ini kalau gue mau jujur, agak terburu-buru. Gue harus menyelesaikan album ini pertengahan 2004, sebelum film “Mengejar Matahari” ditayangkan di bioskop-bioskop. Album ini untuk ukuran yang terburu-buru penjualannya tidak terlalu mengecewakan, masih laku terjual sampai 400.000 keping. Double platinum. Mudah-mudahan bisa dapat triple platinum dalam waktu dekat ini.


Best Track: “Arti Cinta,” “Tak Ada Yang Perlu Disesali”


 


To Be Announced (2006)


 


Ini kayaknya album terbaik gue. Sampai detik ini album belum di-mixing, dari sekian banyak musisi pendukung yang selama ini sudah bekerja dari album pertama sampai album ketiga gue udah mulai mendapat chemistry-nya dan jembatan komunikasinya itu lebih enak. Latar belakang ceritanya itu begini, sepuluh lagu gue bisa bekerja dengan enam atau tujuh produser musik atau arranger. Dengan masing-masing karakter orang, masing-masing basic selera musik, maunya ke mana. Kendala itu cukup besar ketika gue mau masuk produksi. Bukan berantem, tapi bagaimana menyampaikan apa yang gue mau. Di album ini tidak banyak terdapat produser musik yang terlibat. Erwin Gutawa dua lagu, Addie MS satu lagu, gue dan Bongky Cs tiga lagu. Satu orang mengerjakan banyak lagu dan ini blend banget. Lirik, cara nyanyi gue sama kemasan musiknya nyambung banget, dapet. Soul-nya gue lebih dapat di album ini, kesempatan gue workshop lebih panjang. Album ini materi itu udah mulai kumpul sejak tahun 2005 awal, ketika gue tur. Sepanjang tur itu songwriting berjalan terus.    


 


 


[Feature ini sempat dimuat di Rolling Stone Magz #12, April 2006]

Komentar

  1. Ini nih quote favorite gua! Crazy,fren..

    BalasHapus
  2. waaaaaaaaa..lengkap, dark, keren bener..
    waaa...benar2 4 sehat 5 sempurna, tanpa beli RS...
    ;)

    BalasHapus
  3. Artikelnya bagus. Bagian dia mengakui kalo anak pertamanya merupakan anak di luar nikah itu keren. Jarang tuh ada pemuda Indonesia berani melakukan itu. Haha...

    BalasHapus
  4. gue pernah baca artikel serupa tentang Ari Lasso di majalah musik yg 'dulu'. tapi yang ini lebih personal details sekaligus humanis. great article!

    BalasHapus
  5. ck ck ck...i'm learning something by reading this article...great job indeed!!

    BalasHapus
  6. salah satu tulisan panjang fave yg pernah gw baca, wen. salut buat RSI yg memulai lagi trend menulis panjang, lengkap & cukup personal. sementara, majalah lain lg pd seneng yg pendek2 aja.

    BalasHapus
  7. Thanks a lot buat semua komentarnya. Gue sendiri sebenernya masih kurang puas sama artikel ini karena narasumbernya cuma satu orang, mungkin bakal lebih kaya lagi kalo narsumnya lebih banyak lagi, cuma emang kejar-kejaran terus sama deadline dan akhirnya terbunuh hehe.

    BalasHapus
  8. Sayang yah Dedy Stanzah udah almarhum..itu orang personalitynya juga seru kalo mau digali lebih dalam

    BalasHapus
  9. wow. that's it. i'm gonna ask my secretary to make me subscribing Rolling Stones from now on.

    BalasHapus
  10. Hehehe...Thanks bung riki. Cuma Rolling Stone-nya tanpa S ya, kalo yg itu dimarahin Jegger senen ntar. Cheers.

    BalasHapus
  11. Wendi, artikelnya bagus banget. Gue sampe menitikkan air mata baca bagian Ari Lasso cuma punya duit 25 rb dan putaw di bis yg ngebawa dia sekeluarga ke Jakarta. Normally, I wouldnt bother to read someone else's blog this long, but yours is different! Jujur dan bisa menyentuh pembaca. You're a great journalist.

    btw kita senasib terus ya, band gue juga kemarin kena dipake namanya sama acara anak2 smu 64

    BalasHapus
  12. Thank you buat komplimennya, dit. Hehe. Jujur, gue sendiri awalnya sebenernya males banget begitu dapet assignment dari Managing Editor gue untuk nulis tentang Ari Lasso ini hehehe...tapi setelah denger ceritanya doi yang gokil, gue malah sebaliknya. Niat abis haha.

    Yang kemaren itu bukan SMA 64 tapi SMA 67. Menyebalkan emang kasus catut-mencatut nama. Gue sendiri udah minta ganti rugi material dan beres. Case closed. :)

    BalasHapus
  13. O iya 67..damn gue kok kayak kena short term memory loss gini.

    BalasHapus
  14. tuengs ya mas,
    jadi tau siapa ari lasso,selama ini cuman kirim surat aza ke doi karena lagu²nya dipake pake buat indie film project kita.Maklum ibu² suka bolot..

    BalasHapus
  15. gua jd inget waktu memburu air sampai tongkrongin rumahnya yg sepi di kawasan delta sari, waru setelah dia resmi dipecat sama dewa...gak tau taunya dia lagi hpless bange

    BalasHapus
  16. alraight man.. thnks informasinya!!
    ternyata bang ari laso penggemar thom yorke juga...

    BalasHapus
  17. Artikel ini bagus banget, jadi ngerti perjalanan hidup mas Ari Lasso

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke